(Disusun saat mengiti lomba essay nationalwalau belum menjadi juara)
Pendahuluan
Ada sebuah bahasa orang Sunda mengatakan
“Dina taneuh urang Indonesia mah melak
duit ge jadi”, kalimat tersebut ababila diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia memiliki arti yakni “Ditanah Negara Indonesia, apabila menanam uang pun
bisa tumbuh”, seperti itulah contoh salah satu gaya bahasa masyarakat Indonesia
yang menggambarkan fakta betapa suburnya tanah yang dimiliki Negara Indonesia
ini, bahkan uang sebagai benda mati dapat tumbuh layaknya tanaman (hanya penggambaran
dari pernyataan suku Sunda). Sebagai salah satu Negara tropis dengan letak
geografis Indonesia yang berada pada garis katulistiwa, rata-rata daerah-daerah
di Indonesia memiliki curah hujan, dan intensitas penyinaran matahari yang merata
setiap tahunnya (E Prihardian,2014)[1]. Dengan kondisi alam yang subur,
menyebabkan berbagai jenis tanaman dapat tumbuh dengan baik, termasuk tanaman-tanaman
yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan manusia, baik untuk pangan, sandang dan
papan. Kondisi inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor penjajah dahulu memperebutkan
negara Indonesia yang memiliki potensi kekayaan alam luar biasa.
Namun
sungguh ironis, sampai sekarang Negara Indonesia belum dapat memaksimalkan
potensi alamnya yang subur, terlebih dalam bidang pertanian. Hal ini ditandai
dengan data survey bahwa Negara Indonesia masih menjadi negara pengimpor
tanaman pangan yang seharusnya bisa ditanam baik di Indonesia. Menurut Badan
Pusat Statistik Indonesia (BPS)[2] dari bulan Januari-Juni 2014
nilai import tanaman pangan yaitu 6.907.585.708 Kg, nilai
itu jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah ekspor yang hanya 148.030.820
Kg, selain itu dikancah internasional
pun Indonesia masih kalah jauh dengan negara-negara lain yang memiliki lahan
pertanian yang lebih sempit dari Indonesia. Seperti Negara Belanda dan Jepang,
dua Negara ini termasuk dalam lima Negara dengan sektor pertanian yang paling maju,
tiga Negara lainya yakni Amerika, Taiwan dan Australia (Yasita E.S, 2013)[3] . Lahan
pertanian yang terbatas bukan menjadi halangan, melalui implementasi teknologi serta
sistem pertanian yang lebih modern, menjadikan salah satu penyebab majunya
pertanian di negara-negara tersebut.
Berbeda dengan Indonesia yang sebagian
besar masih menerapkan sistem secara konvensional, sehingga potensi lahan pertanian
yang luas pun belum dapat dioptimalkan, akhirnya fakta ini menjadi salah satu
faktor bangsa indonesia belum bisa berdaulat dalam bidang pertanian. Disinilah tentunya
dibutuhkan keikut sertaan generasi muda Indonesia yang peduli dan mampu berkontribusi,
memberikan solusi-solusi konstruktif khususnya dalam membangkitkan sektor
pertanian dalam negeri diantaranya, dengan cara melaksanakan riset maupun
inovasi teknologi yang dapat diimplementasikan dalam bidang pertanian, dengan
begitu diharapkan dapat merevitalisasi pola kegiatan pertanian masyarakat indonesia
dari konvensional menjadi lebih modern. Pengimplementasian teknologi dalam
bidang peratanian tentunya mempermudah proses kegiatan-kegiatan pertanian yang
dilakukan. Dari upaya tersebut diharapkan dapat membangkitkan sektor pertanian masyarakat
indonesia, sehingga cita-cita bangsa indonesia menjadi lebih maju bukan hanya
sekedar angan-angan saja.
Isi
Indonesia
merupakan negara agraris yang memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah,
salah satunya potensi lahan yang subur menjadi kelebihan tersendiri yang dianugrahkan
Alloh SWT. Sewajarnya Bangsa ini bersyukur dengan kondisi tersebut, sebagai
salah satu rasa syukurnya yaitu bisa mengoptimalkan penggunaan lahan tersebut
dengan kegiatan pertanian sehingga bisa menjadi sarana untuk memakmurkan dan
memajukan negeri. Menurut data Kementrian Pertanian RI tahun 2013[4]
lahan pertanian indonesia mencapai 252.618,79 km2, luas lahan
pertanian tersebut tidak termasuk dengan data lahan pertanian yang belum
temanfaatkan yakni sekitar 142.138,15 km2. Namun faktanya luasnya
lahan pertanian yang tersedi masih belum bisa menghasilkan produktifitas hasil
tani yang optimal, buktinya untuk memenuhi kebutuhan tanaman pangan dan
holtikultural dalam negeri, Indonesia masih bergantung pada impor, fakta
tersebut didapatkan dari survey BPS bulan Januari-Juni 2014 [5] ,
untuk nilai impor sebesar 6.907.585.708 Kg, nilai jumlah
ekspor yang hanya sebesar 148.030.820 Kg.
Berbanding terbalik dengan kondisi negara Belanda yang merupakan salah satu negara dengan sistem pertanian yang paling maju, namun memiliki luas wilayah yang relatif sempit. Menurut Yasita E.S (2013)[6] menyatakan negara Belanda memiliki luas wilayah hanya 41.526 km2. Dengan luas wilayah yang relatif kecil bila dibandingkan Indonesia, pada tahun 2011 Belanda mampu menjadi negara peringkat 2 untuk negara pengekspor produk pertanian terbesar didunia dengan nilai ekspor mencapai 72,8 miliar Euro. Kunci dari majunya pertanian di Belanda adalah riset, yang kemudian diterapan melalui kebijakan-kebijakan dan teknologi. Begitupun dengan Negara Jepang yang memaksimalkan kegiatan pertanian dalam negeri dengan pengimplementasian teknologi modern sehingga kemudian meski wilayah pertaniannya lebih kecil dibandingkan dengan Negara indonesia, namun produktivitas hasil tani optimal, sehingga tercatat juga sebagai Negara dengan sistem pertanian paling maju di dunia.
Peranan teknologi memang sangat penting dalam
kegiatan kegiatan pertanian, karena akan lebih memudahkan serta mengefektifkan
waktu kegiatan pertanian. Hal ini akan mendorong produktifitas hasil pertanian
yang lebih baik. Seperti yang telah diterapkan di negara-negara maju. Pengetian
Teknologi menurut Djoyohadikusumo (1994)[7] berkaitan erat dengan
sains (science) dan perekayasaan (engineering/keteknikan). Tanggung jawab
memajukan pertanian bangsa indonesia tentunya bukan hanya tanggung jawab satu
institusi saja, namun tentunya sudah menjadi kewajiban seluruh elemen negara,
termasuk generasi muda terpelajar selayaknya memiliki kepedulian pada kondisi pertanian
negeri, yakni sebagai agent of change generasi
muda terpelajar seperti elemen mahasiswa yang kental dalam melaksanakan kegiatan riset, bukan hanya tugas
mahasiswa pertanian saja, namun mahasiswa
engineering (teknik) juga dapat berkontribusi, yakni dengan memfokuskan
pada riset dan inovasi teknologi untuk kemajuan pertanian negeri. Teknologi
tersebut tentunya bisa diadopsi dari negara-negara maju dan dari sumber
literatur-literatur pembelajaran yang ada dalam perkuliahan, tentunya dengan diadakan
penyesuaian sesuai dengan kondisi pertanian negeri.
Mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda, terutama dibidang teknik harus menyadari betul potensi intelektualitas dan pebelajaran dalam perkuliahan. Keteknikan tidak hanya berfokus untuk berinovasi teknologi yang hanya diterapkan dalam kegiatan industri saja, namun lebih luas juga bisa berperan dalam kegiatan pertanian, meliputi kegiatan pra-panen (pembibitan), kegiatan penanaman, dan kegiatan pasca-panen ( meliputi kegiatan penyimpanan dan pendistribusian), seperti ilmu yang didapatkan penulis di Politeknik Negeri Bandung, ilmu teknik refrigerasi dan tata udara, sebagai cabang ilmu dari Teknik Mesin dan Ilmu Termodinamika terapan tidak hanya berfokus pada penerapan bidang Industri saja namun juga bisa diterapkan pada bidang pertanian, ilmu rekayasa temperatur dan kelembapan yang dipelajari bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan kegiatan pertanian.
Rekayasa temperatur (berupa pemanasan
atau pendinginan) yang dipelajari mahasiswa teknik, bisa dilakukan dengan
merancang mesin misal untuk kegiatan penyimpanan bibit atau kegiatan distribusi
produk pertanian yang membutuhkan kondisi tempat dengan temperatur rendah.
Dengan mesin tersebut kondisi bibit dan produk hasil tani bisa tersimpan dengan
baik. Hal ini merupakan keuntungan, karena bisa meminimalisir kerugian petani dalam
kasus bibit yang rusak sebelum masa tanam, atau produk busuk diperjalanan.
Seperti penggunaan mesin refrigerasi untuk kegiatan pendinginan. Ilmu
refrigerasi didefinisikan sebagai cabang ilmu science untuk menurunkan dan mempertahankan temperatur suatu ruangan
dari temperatur sekitarnya yang lebih tinggi (Dossat,1981)[8].
Sebagai Negara tropis dengan temperatur rata-rata yang tinggi dibeberapa
tempat, jelas rekayasa temperatur dibutuhkan untuk produk pertanian yang
membutuhkan kondisi temperatur yang rendah.
Kemudian contoh lain rekayasa kelembapan
(RH), ilmu ini bisa diterapkan dalam merancang mesin untuk pengeringan. Misal
gabah padi yang biasanya melalui pengeringan. umumnya petani lokal masih
menggunakan cara tradisional, yakni memanfaatkan penyinaran matahari secara
alami, dampaknya jika kondisi cuaca mendung tentu jadi permasalahn, proses
pengeringan tidak akan berjalan lancar. Maka salah satu solusinya dengan
merancang suatu mesin pengeringan. Dengan begitu kegiatan pengeringan tidak
akan bergantung dengan kondisi cuaca, mau hujan, mendung, siang ataupun malam, kegiatan
pengeringan gabah tetap bisa dilakukan, disinilah contoh salah satu kelebihan
teknologi, dapat mengefektifkan waktu yang ada. Mesin pengeringan bisa
dirancang sesuai konsep sistem refrigerasi dehumidifier
menggunakan proses kondensasi evaporator dan pemanasan kondensor untuk
mengeringkan dan menurunkan kelembapan (ASHRAE HandBook,2008)[9]. Proses pengeringan pun dilakukan di
dalam ruangan tertutup sehingga lebih aman dan higienis.
Proses revitalisasi sistem pertanian negeri dengan pengimplementasian teknologi pertanian tentu bukan hal yang mustahil dilakukan di Negara Indonesia. Peluang ini bisa diwujudkan, jika memang generasi muda contohnya mahasiswa punya kepedulian dan rasa nasionalisme guna ikut memajukan pertanian. Untuk itu diperlukan upaya sosialisasi pemerintah, dan intitusi perguruan tinggi keteknikan khususnya, untuk lebih mendorong mahasiswanya dalam melaksanakan riset dan inovasi teknologi untuk pertanian. Permodalan dalam proses penelitian pun idealnya bisa disponsori oleh pengusaha. Sehingga ada sinergisitas antara masing-masing elemen yang ada, ibarat konsep Triple Helix yang ditulis Anis Mata (2014)[10] dalam buku Gelombang Ke III Indonesia, yakni dalam upaya pengembangan teknologi bangsa diupayakan ada tiga elemen penting yang perlu bersinergis satu sama lain diantaranya, pemerintah melalui kebijakan yang dihasilkannya, Intitusi perguruan tinggi yang berperan sebagai lembaga tempat riset dan inovasi teknologi, dan pengusaha sebagai sarana pemodalan serta pemasarannya. Dengan konsep tersebut, reset teknologi hasil karya mahasiswa tidak hanya menjadi laporan tulisan yang cuma dipajang di rak perpustakaan-perpustakan kampus saja, namun dapat di produksi masal dan diaplikasikan oleh petani negeri, sehingga tentu akan tercipta masyarakat petani indonesia yang lebih maju serta modern, mampu mamaksimalkan potensi lahan pertanian indonesia yang ada, produktifitas meningkat, hasil pertanian bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, dapat mengurangi impor, dan meningkatkan ekspor, dan pasti berdampak pada perekonomian negara Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.
Penutup
Geberasi muda termasuk pelajar ataupun
mahasiswa yang memiliki potensi intelektualitas, kreatifitas, serta semangat
tentu seharusnya memiliki komitmen kebermanfaatan serta cita-cita berkontribusi
dalam memajukan bangsa Indonesia, salah satunya dengan membangkitkan sektor
pertanian dalam negeri. Bentuk kontribusinya yakni dengan melakukan reset-reset
untuk upaya menghasilkan inovasi teknologi yang bisa di gunakan oleh masyarakat
petani. Sistem pertanian yang melibatkan teknologi akan membawa dampak positif
bagi kemajuan pertanian Indonesia. Dan semakin baiknya sistem pertanian negeri,
maka indonesia pun akan semakin maju. Semangat dan bangkitlah pertanian
Indonesia.
Daftar Pustaka
[9] ASHRAE
Handbook 2008. “HVAC System and Equipment” Chapter 22. ASHARE, INC. Atlanta
2005.